Geliat transaksi jual beli online semakin berkembang dan menjadi trend bagi banyak orang diberbagai negara. Ditinjau dari perspektif Islam, fiqh muamalah, transaksi jual beli online ini banyak menimbulkan pro dan kontra. Jual Beli dalam Islam khususnya dalam pandangan Madzhab Asy-Syafi’i diperbolehkan hukumnya secara Ijma. Dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 29:
“Kecuali
dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.”
sumber: google |
Prinsip itikad baik terdapat pada semua hukum,
baik hukum ibadah atau muamalah.
Maka berdasarkan hadits di bawah
batalnya suatu akad apabila terdapat niat atau itikad yang tidak baik di
dalamnya. Seperti jual beli dengan maksud riba dan menikah dengan niat untuk
menjadi penyela bagi yang cerai dengan tiga talak. Hadits dimaksud adalah:
“Sesungguhnya sahnya perbuatan tergantung niatnya.
Dan sesungguhnya perbuatan manusia tergantung niatnya.
Barangsiapa hijrahnya menuju Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah
dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya agar mendapatkan hal duniawi atau agar
perempuan menikahinya, maka hijrahnya hanya kepada hal tersebut. (HR.
Al-Bukhari)
Dalam prinsip itikad
baik dalam Islam ini dinyatakan bahwa tertanggung wajib menginformasikan kepada
penanggung mengenai suatu fakta dan hal pokok yang diketahuinya, serta hal-hal
yang berkaitan dengan risiko terhadap pertanggungan yang dilakukan. Keterangan
yang tidak benar dan informasi yang tidak disampaikan dapat mengakibatkan
batalnya perjanjian. Hal terpenting dalam prinsip ini adalah kejujuran peserta
atas objek yang dipertanggungkan. Dalam perjanjian Islam, kejujuran dianggap
sebagai hal pokok terwujudnya rasa saling rela. Kerelaan (an taradlin)
merupakan hal yang paling esensi dalam perjanjian Islam. Sebab dalam perdagangan
Islam dinyatakan bahwa perdagangan harus dilakukan dengan penuh kesepakatan dan
kerelaan, sehingga jauh dari unsur memakan harta pihak lain secara bathil.
Rukun jual beli dalam Madzhab
Asy-Syafi’i hanya mencakup 3 (tiga) hal yaitu pihak yang mengadakan akad, shigat (ijab qabul) dan barang yang menjadi
objek akad. Namun beberapa ahli fiqih madzhab membolehkan jual beli tanpa
mengucapkan shigat apabila dalam hal
barang yang tidaklah mahal dan berharga. Menurut jumhur ulama dari kalangan sahabat
dan tabi’in jual beli yang tidak dapat
disaksikan langsung, jual belinya tidak sah karena mengandung unsur penipuan
yang membahayakan salah satu pihak. Namun madzhab Asy-Syafi’i membolehkan jual
beli tersebut dengan syarat barang telah disaksikan terlebih dahulu. Ataupun
hanya memperjual belikan barang yang diketahui ciri-ciri dan sifatnya dan
barang ada dalam jaminan penjual.
Jual beli ini diperbolehkan
selama barang yang diperjual belikan sesuai dengan ciri-ciri yang telah ditentukan
atau telah diketahui jenis dan sifat dan barang yang akan dibelinya. Dengan
kemajuan informasi teknologi spesifikasi barang bisa dilihat terlebih dahulu
baik secara gambar dan video. Jika barang tidak sesuai dengan ciri-ciri yang telah
disepakati, pembeli boleh melakukan khiyar.
Disyaratkan juga ketika
melakukan transaksi elektronik hendaknya para pelaku memperhatikan prinsip
kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas dan kewajaran. Terkait masalah
kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas dan kewajaran, para ulama Madzhab
Syafi’i mensyaratkan bahwa jual beli hendaklah barangnya dapat diserahkan. Artinya
barang tersebut haruslah ada dan bisa dihitung atau barang yang diperjual
belikan tersebut bisa diukur. Selain itu pula pernyataan barang bisa diserahkan
berarti barang yang dijual haruslah barang yang bisa diperjual belikan sesuai
kewajaran, tidak diperbolehkan misalnya menjual salah satu dari tiang rumah
yang ada atau menjual burung yang sedang terbang di angkasa.
Sesuai rukun Jual Beli
yang telah disebutkan di atas, transaksi jual beli dalam Madzhab Asy-Syafi’i terjadi
ketika 3 (tiga) rukun tersebut ada, maka perbuatan jual beli tersebut terikat
dalam akad jual beli. Hal ini berkesesuaian dengan peraturan Indonesia yang
menyebutkan bahwa transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik
mengikat para pihak.
Transaksi elektronik
terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan
disetujui penerima. Kesepakatan terjadi pada saat penawaran transaksi yang
dikirim oleh Pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima. Persetujuan
tersebut dinyatakan dalam penerimaan secara elektronik. Dalam Madzhab Asy-Syafi’i
ditegaskan pula bahwa Jual beli terjadi karena ada rasa kerelaan antar penjual
dan pembeli. Menurut Al-Ghazali, penjual boleh memiliki uang hasil penjualan mu’athah jika nilainya sebanding dengan
harga yang diserahkan.
An-Nawawi dan ulama lainnya
memutuskan keabsahan jual beli mu’athah
dalam setiap transaksi yang menurut urf
(adat) tergolong sebagai jual beli karena tidak ada ketetapan yang mensyaratkan
pelafazhan akad. An-Nawawi berpendapat juga bahwa jual beli mu’athah bisa dilaksanakan dalam semua
transaksi jual beli, baik jual beli barang murah ataupun bukan. Kecuali dalam
jual beli tanah dan ternak. Sebagaian ulama Madzhab Asy-Syafi’i lainnya seperti
Ibn Suraij dan Ar-Ruyani mengkhususkan bahwa dibolehkannya jual beli mu’athah dalam barang yang murah,
seperti sekerat roti dan lainnya. Penerimaan akad secara tertulis lebih kuat
daripada hanya dengan isyarat, malah lebih utama karena lebih kuat dalam
menunjukan keinginan dan kerelaan.
Dalam
transaksi jual beli online, penjual
menyerahkan barangnya tidak secara langsung kepada pembeli. Ada pihak ketiga
yaitu kurir atau service delivery
yang menjadi perwakilan penjual untuk menyerahkan barangnya kepada pembeli. Dalam
madzhab Asy-Syafi’i jual beli bisa diwakilkan kepada orang lain untuk berjualan
atau membeli suatu barang. Setiap perkara boleh dilakukan sendiri, oleh
seseorang boleh ia mewakilkan kepada orang lain, dan boleh menerima perwakilan
dari orang. Maka oleh karena itu transaksi melalui kurir atau delivery service secara hukum boleh
dilakukan. Namun dengan catatan bahwa kurir atau delivery service tersebut memiliki surat tugas atau surat kuasa
dalam melakukan penjualannya. Karena jual beli fudhuli (menjual harta milik orang lain tanpa surat kuasa atau
perwakilan) hukumnya adalah batal. Seorang wakil tidak boleh melakukan
transaksi jual beli kecuali dengan tiga syarat:
a. Hendaklah ia menjual barang yang
diamanatkan dengan harga yang berlaku berdasarkan perhitungan uang yang beredar
di daerahnya.
b. Ia tidak menjual untuk dirinya sendiri.
c. Ia tidak boleh mengatasnamakan orang
yang mewakilkan kecuali dengan izin.
Transaksi melalui kurir
ini dalam Fiqh Madzhab Asy-Syafi’i dinamakan jual beli dengan wakalah (perwakilan). Wakalah menurut
istilah adalah penyerahan kepada seseorang atas apa yang harus dikerjakannya
yang diperbolehkan diwakili kepada orang lain dengan shighat untuk dikerjakan orang lain semasa hidup pemberi kuasa. Wakalah
diperbolehkan oleh syariat berdasarkan hadits:
“Dari ‘Urwah
sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya satu dinar,
agar membelikan bagi beliau seekor kambing. Maka ‘Urwah membelikan dua kambing
untuk beliau, lalu ‘Urwah menjual salah seekor kambingnya seharga satu dinar.
Dan ‘Urwah memberikan satu dinar dan seekor kambing kepada Rasulullah. Maka
beliau mendoakan ‘Urwah dengan keberkahan dalam jual belinya. Padahal jikalau
‘Urwah membeli tanah maka dia akan sangat untung.” (HR. Bukhari)
Madzhab Asy-Syafi’i memperbolehkan
wakalah (perwakilan) dalam setiap
hak-hak urusan manusia yaitu segala hal yang berkaitan dengan individunya bukan
komunitasnya. Seperti mewakilkan jual beli, pernikahan, perceraian, syirkah, perdamaian dan lainnya. Wakalah adalah akad yang tidak mengikat,
artinya seorang wakil atau orang yang mewakilkan tidak wajib meneruskan akad
wakalah. Setiap pihak boleh membatalkan akad tersebut kapan saja mereka
inginkan, dan akad itu menjadi gugur dengan meninggalnya salah satu pihak.
selalu pengen usaha onlen tapi ilmunya beyum cukupp kill
BalasHapus